Suka-duka TNI Perbatasan: Seminggu Menikah Langsung Tinggalkan Istri, Tak Lihat Anak Lahir.


BUKAN film fiksi sinetron. Cerita ini kisah nyata. Seorang prajurit TNI mestinya sedang bersenang-senang dengan istri yang baru seminggu dinikahinya. Tapi ada daya, tugas wajib menjaga perbatasan negara memanggilnya, sehingga berpisah berbulan-bulan dari keluarga. (Foto Cover: Ilustrasi TNI diperbatasan)


Hal ini dialami Sersan Kepala M Asdar, personel TNI di Pos Long Bulan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Lulusan akademi perawat di Manado, Sulawesi Utara ini, menikah seminggu sebelum pratugas selanjutnya berangkat menumpang kapal laut dari Sulawesi ke Tarakan, Kalimantan Utara, akhir Maret 2016.

“Seminggu menikah, saya langsung tugas,” ujar Asdar saat berbincang dengan surat kabar Tribun Kaltim

Asdar dan rekan-rekan dari Batalyon 713/Satyatama, Gorontalo, akan berpisah dari keluarga untuk waktu sembilan bulan. Sejak itu, hingga hampir lima bulan, dia tidak pernah bertatap muka, apalagi bersentuhan dengan istri. Mendengar suara paun tidak bisa, karena keterisolasian Long Bulan.

“Kami hanya bisa berkomunikasi lewat surat. Saat dorlog (pendorongan logistik, red), heli datang sekali sebulan, saya tulis surat ke istri. Nanti istri kirim surat juga,” ujarnya.

Melalui komunikasi surat-menyurat itulah, Asdar mengetahui, istrinya belum dikarunia buah hati. “Istri belum hamil. Jadi bikin anak saja tidak sempat. Inilah risiko prajurit. Tapi Saya tulus iklhas dan bangga menjaga kedaulatan negara, garda terdepan di perbatasan,” uajr Asdar.

Hal mirip-mirp dialami Letda Infantri Rizal, Komandan Pos. Menurutnya, selama lima bulan, tidak pernah berkomunikasi dengan istri dan dua anaknya. Istrinya seorang anggota polisi bertugas di Rumah Sakit Bhayangkara, Makassar, Sulsel. Mereka telah dikarunia dua anak. Anak sulung kelas 1 SMP dan anak bungsu masih SD.

Ia merasakan kesedihan luar biasa, ketika berpisah dan tidak dapat merayakan Idul Fitri April lalu. “Sedih, tapi saya harus kuat. Anak-anak juga begitu,” ujar Rizal.

Sebagai pengobat rindu, Rizal rutin memperdengarkan suara dan wajah anak-anak dan istri yang direkam melalui video telepon selulernya. Prajurit memang dapat menggunakan telepon seluler, untuk melihat vidoe, foto dan game, walau tanpa sinyal. Mereka menge-charge ponsel menggunakan tenaga surnya (solar cell) yang ditampung ke baterai.

“Kesan saya selama di ini, dengan tertutupnya akses transportasi maupun komunikasi, saya merasa selama orang yang besarma saya, baik kelaurga maupun kawan-kawan, begitu tingginya nilai mereka. Saya sekarang merasa kehilangan, ternyata begitu tingginya nilai mereka. Jadi pesan saya, keluarga jangan disia-siakan,” kata dia.

Rizal menandaskan, “Menjaga perbatasan di daerah terpencil bukan sebagai saja tugas, tetapi kami jadikan sebagai tempat menyucikan hati dan batin, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Komandan Pos Bahsiuk, Desa Long Pupung, Kabupaten Nunukan, Kaltara pun mengalami satu momentum penting yakni saat istrinya melahirkan di Palu, Sulawesi Tengah.

“Istriku melahirkan anak ketiga, 28 Maret lalu. Saat anak bungsu lahir, kapal kami pas sandar di Tarakan. Sampai sekarag belum lihat,” ujar Anwar.

Namun Anwar masih bersyukur. Dia bisa turun ke Long Layu, kota kecamatan, perjalanan dua hari. Saat ke ‘kota, dia bsia mendapatkan sinyal telepon seluler dan berkomunikasi dengan anak-istri.

“Syukurlah, tangis anak saya, sudah saya dengar melalui telepon,” kata Anwar.


Sumber: tribunnews

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel